Sejarah Konservasi yang Melekat Secara Budaya dan Agama

Sebelum jauh membicarakan tentang ‘pemeliharaan dan perlindungan sesuatu secara teratur untuk mencegah kerusakan dan kemusnahan dengan jalan mengawetkan; pengawetan; pelestarian’, atau yang dirangkum ke dalam satu kata oleh Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) sebagai ‘konservasi’, kita kutip surat Al-Mulk ayat 3 dan 4 dari Al-Quran yang berbunyi; “kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang” selanjutnya berbunyi; “kemudian pandanglah sekali lagi, niscaya penglihatanmu akan kembali kepadamu dengan tidak menemukan sesuatu cacat, dan penglihatanmu itupun dalam keadaan payah.”

Kedua ayat tersebut menjadi kutipan awal pada bab pertama dari sebuah buku yang mengulas tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya (selanjutnya ditulis SDA hayati dan ekosistemnya) secara hukum konstitusional. Buku tersebut disusun oleh Prof. Dr. H. Abdullah Marlang, S.H., M.H. yang—sudah barang tentu—telah piawai dalam bidang hukum dan konstitusi.

Menurut beliau, kutipan ayat suci tersebut serupa gambaran bahwa penciptaan alam semesta oleh Allah SWT dalam kondisi dan keadaan yang lengkap, sempurna, dan tanpa cacat serta kekurangan sesuatu apapun, dan secara hakikatnya, semua itu dipersiapkan untuk menunjang kelangsungan hidup makhluk ciptaannya, baik manusia, flora, maupun fauna.

Boleh jadi, itu sebuah kesengajaan yang tersirat secara implisit dari seseorang yang telah ahli dalam hukum, bahwa sebelum kita membahas pasal-pasal di dalam undang-undang tentang perlindungan SDA hayati dan ekosistemnya, agama telah mengajarkan itu jauh sebelum Deklarasi Stockholm pada tahun 1972—yang diketahui sebagai awal mula konferensi internasional terkait lingkungan hidup.

Namun agama yang dimaksud bukan hanya Islam—seperti yang dikutip di atas. Sebelum nabi Isa disalib pun, bangsa manusia telah mengenal konservasi melalui seorang raja yang bernama Asoka. Ini membuktikan bahwa perlindungan terhadap flora dan fauna merupakan hal yang sangat penting bagi manusia. Maka, sebaiknya kita melihat sejarah yang tercatat terkait konservasi.

Babak Pertama ‘Konservasi’ adalah Religius

Contoh peristiwa paling awal yang tercatat dalam sejarah perihal perlindungan alam ini terjadi pada tahun 252 SM di India, saat raja ke-3 dari Dinasti Maurya yang bernama Raja Asoka memerintah. Raja yang beragama Buddha aliran Wibhajyawada ini, semasa pemerintahannya mengeluarkan aturan-aturan yang bijak, salah satunya melakukan perlindungan terhadap margasatwa. Ia dengan tegas melarang penyembelihan, penyiksaan sia-sia, pemburuan untuk olah raga dan hobi, terhadap hewan, bahkan dirinya membangun rumah sakit untuk hewan. Data tersebut dicatat oleh penulis Amerika bernama Norman Nelson Phelps dalam bukunya yang berjudul ‘The Longest Struggle: Animal Advocacy from Pythagoras to Peta’ terbitan Lantern Books tahun 2007.

Namun, di semenanjung Arab pun dikenal sebuah kawasan yang diperuntukan melindungi margasatwa seperti yang dilakukan Raja Asoka. Kawasan tersebut dikenal dengan nama ‘Hima’. Kawasan ini cenderung subur dan dipenuhi habitat-habitat tertentu, baik flora maupun fauna. Barangkali saat ini kita kenal sebagai ‘Oasis’.

Oasis-oasis pada zaman itu beberapa ditunjuk sebagai hima, sehingga tidak sembarang masyarakat Arab mengeksploitasinya. Meski mulanya hima ini digunakan untuk kepentingan beberapa suku, namun setelah Islam turun, istilah hima ini bergeser menjadi sebuah tempat perlindungan hewan dan tumbuhan.

Seperti yang dikutip dari sebuah jurnal redaksi Republika, para khalifah kerap mengatakan bahwa setiap spesies binatang memiliki bangsanya sendiri. Sehingga pada saat era Islam berjaya, menjaga hima menjadi sebuah kewajiban religius dibandingkan kewajiban komunitas. Maka, hukum Islam menurut Al-Suyuti dan fuqaha-fuqaha yang lain, (kata majemuk dari kata faqih atau ahli fiqih: ahli bidang hukum dalam Islam) dalam buku The Basic for Discipline of Environmental Law karya Othman Llewelyn, menuliskan bahwa syarat yang telah dipraktikan Nabi dan para khalifah dalam penunjukan hima sebagai berikut:

  1. Harus diputuskan oleh pemerintah Islam;
  2. Harus dikembangkan sesuai ajaran Allah SWT untuk kesejahteraan umat manusia;
  3. Area yang dijadikan hima tidak boleh terlalu luas, dalam arti, tidak boleh mencabut sumber-sumber penghidupan mereka yang tak tergantikan;
  4. Harus mewujudkan manfaat nyata yang lebih besar ketimbang kerusakan yang ditimbulkannya.

Konsep hima ini dikenal di kawasan Arab sebelum abad ke-6, yang kemudian diperbaiki oleh nabi Muhammad SAW melalui ajaran Islamnya, dan terus bertahan sampai hari ini.

Selanjutnya, agama Hindu yang kerap mewarnai Nusantara kita ini, sebelum dikenal dengan nama Indonesia, pada zaman kerajaan-kerajaan masih bertikai, nyatanya meninggalkan kisah-kisah mistis dan takhayul perihal gunung dan rimbanya. Sebuah konsep adagium kesurupan, sakit, hilang, mati, dsb jika kita memasuki hutan terlarang, menjadi terminologi tersendiri atas sanksi-sanksi bagi para pelanggar yang memasuki gunung dan rimba larangan tersebut. Bahkan, Putri Lara Kadita anak dari Prabu Siliwangi, atau yang dikenal sebagai Nyi Roro Kidul, seolah-olah menjadi konstitusi tersendiri dalam rangka menjaga pantai selatan dari kerusakan.

Bukti-bukti nyata terkait perlindungan alam yang dilahirkan beberapa agama, merupakan suatu kegiatan religius bagi semua umat manusia beragama untuk diamalkan, dilaksanakan, dan dijaga sampai generasi selanjutnya. Maka tak heran jika seorang resi bernama Bujangga Manik di sejarah Sunda, begitu menghargai setiap gemunung yang dilaluinya. Itulah babak pertama perihal kawasan konservasi. Ia tidak lepas dari ajaran-ajaran kepercayaan yang turun dan menyebar di tengah kalangan masyarakat, sehingga segala hal yang menistakan alam raya, boleh jadi disebut juga penistaan agama dalam segi religi.

Indonesia dan Nyawa Konservasinya

Dalam bukunya, Prof. Dr. H. Abdullah Marlang, S.H., M.H. menulis bahwa Konferensi Stockholm yang digelar pada tahun 1972, merupakan cikal bakal lahirnya Badan Lingkungan Hidup Dunia di bawah bendera PBB dengan nama United Nations Environment Programme (UNEP). Ini merupakan pukulan awal yang paling besar pengaruhnya terhadap hukum lingkungan modern yang memiliki orientasi pada keseimbangan pengelolaan/pemanfataan SDA, dan seolah-olah substansi pokok deklarasi Stockholm secara keseluruhan serupa perwujudan ratio legis (maksud dan tujuan keputusan perundang-undangan) dari hakikat yang terkandung dalam QS. Al-Mulk ayat 3 dan 4. Oleh karena itu, deklarasi tersebut memengaruhi hukum lingkungan bagi beberapa negara di dunia, salah satunya Indonesia.

Dikutip dari buku yang sama, pasca peristiwa 1972 tersebut, lahirlah UU No. 4 Tahun 1982 (UULH), UU No. 23 Tahun 1997 (UUPLH), dan UU No. 32 Tahun 2009 (UUPPLH), beserta peraturan perundang-undangan yang terkait dengan undang-undang lingkungan hidup di Indonesia, meski perihal perlindungan SDA di Indonesia pernah terjadi sejak zaman Hindia-Belanda yang dikenal sebagai Natuur Reservaat pada tahun 1714, yang terus meluas pada tahun 1889 kemudian berakhir pada tahun 1925 dan kini menjadi Taman Nasional Gede Pangrango.

Namun, seperti yang telah dituliskan sebelumnya, bangsa kita memang telah jauh mengenal konsep perlindungan alam melalui ‘hutan larangan’-nya. Bahkan, sebelum Belanda mendirikan Nederlands-Indische Vereniging tot Natuur Bescherming (Perhimpunan Perlindungan Alam Hindia-Belanda) pada tahun 1912, masyarakat Baduy yang menganut agama Sunda Wiwitan (agama yang telah dianut suku Sunda sebelum Hindu dan Buddha masuk ke Nusantara) mengamalkan praktik pengendalian lingkungan dalam kehidupan berladangnya (ngahuma).

Sampai saat ini, masyarakat Baduy memiliki pantangan yang dikenal sebagai teuwasa, yang berarti tidak boleh bertani sawah, membongkar-bongkar tanah, menggunakan pupuk kimia buatan, serta pestisida buatan. Kegiatan berladang tersebut benar-benar menyatu dengan kepercayaan yang dianutnya, sehingga bukan semata-mata untuk kebutuhan ekonomi, namun juga serupa cara dan etika yang bermoral. Maka, menurut beberapa ahli, sistem berladang tersebut tergolong sebagai sistem perladangan terpadu (integral system).

Seperti yang ditulis oleh Johan Iskandar dalam esainya yang berjudul ‘Tata Ruang dan Konservasi Alam oleh Masyarakat Adat Baduy’, beberapa suku di Indonesia juga masih mempraktikan hal yang sama, seperti suku Talang Mamak di Sumatera, suku Dayak di Kalimantan, suku Sahu di Halmahera, mereka semua memiliki sistem dan caranya masing-masing dalam berladang secara terpadu. Maka sudah semestinya bangsa kita tidak merasa asing terhadap ruh ‘konservasi’ ini.

Sadar Kawasan

Sekali lagi sebagai catatan, diskursus yang terkandung dalam istilah ‘konservasi’ yang didefinisikan sebagai ‘pemeliharaan dan perlindungan sesuatu secara teratur untuk mencegah kerusakan dan kemusnahan dengan jalan mengawetkan; pengawetan; pelestarian’ oleh KBBI, telah jauh-jauh hari melekat pada bangsa kita; Indonesia, baik secara budaya maupun agama.

Sebagai bangsa yang memiliki ideologi Pancasila, yang berarti setuju oleh kalimat ‘ketuhanan yang maha esa’, ditambah sebagai manusia berbangsa keturunan nenek moyang yang telah mengerti betul integral system dalam aspek lingkungan, semestinya makna yang terkandung dalam UU No. 5 Tahun 1990 tentang Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya bukanlah hal asing yang perlu disosialisasikan, mengingat babak awal konservasi di dunia ini erat kaitannya dengan agama, sedangkan agama-agama yang kita anut di Indonesia telah memberi contohnya di masa silam seperti sabda Raja Ashoka, konsep Hima dari Rasulullah, hingga larangan-larangan dari Dewa-Dewi Hindu, begitu pula secara budaya yang dipercontohkan oleh nenek moyang kita.

UU No. 5 Tahun 1990 yang beberapa pasalnya memuat perundang-undangan perihal Kawasan Konservasi ini, serupa perlindungan hukum bagi kawasan-kawasan gunung, rimba, dan laut (gurila), yang dalam proses kehadirannya melalui banyak rumusan, salah satunya mulai dari pembentukan Natuur Reservaat tahun 1714 hingga perundang-undangan yang terus diamandemen. Keberadaan undang-undang ini dirasa lebih dari sebuah konstitusi yang hadir untuk mengendalikan eksploitasi SDA hayati dan ekosistemnya, ia juga hadir sebagai bentuk yang religius jika kita mengamalkan, mematuhi, serta mengembangkannya. Sehingga kesadaran akal kita terhadap undang-undang ini serupa salah satu perwujudan bakti kita terhadap apa yang dicontohkan oleh agama serta nenek moyang kita. Maka “memberantas” siapa saja (baik sipil, aparat, pemerintah, dan lainnya) yang melanggar perundang-undangan terkait SDA Hayati dan Ekosistemnya, boleh dikatakan bahwa mereka telah membela dua aspek dalam hal ini; agama dan budaya.

Oleh karena itu, menjadi pencinta alam bukanlah tugas suatu kelompok tertentu seperti Organisasi Pencinta Alam (Orpala), Mahasiswa Pencinta Alam (Mapala), Komunitas Pencinta Alam (KPA), peneliti ekologi, konservasionis, aktivis lingkungan, dan sebagainya. Hanya dengan menjadi seorang manusia, secara hakikatnya kita telah diberi tugas sebagai seorang pencinta alam, karena seperti ayat yang dikutip dari surat Al-Mulk, aspek ekologi mesti seimbang dengan aspek ekonomi atas dasar bahwa Allah SWT menciptakan alam tanpa cacat sedikit pun; sempurna.

Perlawanan petani Kulon Progo terhadap pembangunan bandara baru di Yogyakarta, perlawanan aktivis Save Ciharus terhadap pegiat alam bebas yang memasuki Cagar Alam, perlawanan para Petani Rembang terhadap pabrik semen, perlawanan mendiang Salim Kancil terhadap tambang pasir, dan masih banyak lagi perlawanan-perlawanan seperti itu, tidak akan terjadi jika aspek ekologi menjadi pertimbangan serius sebagaimana halnya kita mempertimbangkan aspek ekonomi. Peristiwa-peristiwa tersebut bisa dikatakan sebagai kecacatan akal manusia dalam kesadaran dirinya terhadap SDA Hayati dan Ekosistemnya, terlebih kecacatan identitas terhadap agama yang dianutnya serta budaya yang mengalir dalam darahnya.

Solusi terbaik adalah sosialisasi kawasan konservasi, atau minimal penyadartahuan perihal apa yang terkandung dalam UU No. 5 Tahun 1990. Orpala, Mapala, KPA, peneliti ekologi, dan segala kelompok manusia yang tergabung dalam bidang kepencintaalaman sepatutnya mewajibkan pengetahuan bagi anggota-anggotanya untuk paham akan undang-undang ini. Namun itu baru dari pihak masyarakat. Sedangkan dari pihak pemerintah, Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) seharusnya lebih masif dalam melakukan sosialisasi akan hal ini. Dengan begitu, ruh konservasi ini akan terus terjaga dan sadar kawasan sudah bukan lagi hal asing bagi kita.

Tambahan Perihal UU No. 5 Tahun 1990

Bagian ini hanya pelengkap tulisan di atas, yang berarti boleh dibaca sebagai suatu keseluruhan isi tulisan—meski akan terasa janggal di akhir nanti—juga dibaca terpisah dari tulisan sebelumnya. Bagian ini ditulis karena tidak dicantumkannya isi dari UU No. 5 Tahun 1990 dalam tulisan di atas, juga UULH, UUPLH, UUPPLH, serta perundang-undangan lingkungan hidup lainnya yang disinggung begitu saja di sini, baik kiranya jika kita sederhanakan perihal UU No. 5 Tahun 1990 sebagai diskursus ringan dalam sudut pandang penulis.

Koreksi untuk pengurangan dan penambahan dipersilakan bagi para pembaca, dan jika ada kesalahan—besar atau kecil—hanyalah kesalahan penulis sendiri, bukan pihak yang menerima dan/atau menerbitkan tulisan ini. Oleh karena itu, penulis sangat terbuka atas kritik serta sarannya. Selanjutnya, berikut perspektif penulis perihal UU No. 5 Tahun 1990 sebagai tambahan penutup tulisan ini;

(Catatan: tulisan berikut dikutip dari buku berjudul Solilokui terbitan Epigraf tahun 2017) Seberapa penting mengenali kawasan konservasi? Jawabannya SANGAT PENTING. Bahkan tidak hanya sekadar mengenali, untuk menyosialisasikannya pun lebih penting lagi, mengingat pegiat alam bebas saat ini terus bertambah, maka ini mengenai ‘demand and suplly’.

Itu berarti, semakin banyak orang yang berbondong-bondong menuntut dirinya untuk melakukan kegiatan alam bebas dalam aspek demand, maka semakin perlu penyuluhan serta penyaluran pengetahuan perihal kawasan dari pihak pemerintah, terutama BBKSDA (Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam), dalam aspek supply. Bila perlu, konten mengenai kawasan konservasi diwajibkan dalam pendidikan formal, mengingat kondisi alam bebas kita—termasuk juga lingkungan publik kita—banyak didapati sampah yang berserak, namun itu hanya satu dari dampak sikap masyarakat kita. Lebih jauh lagi, mari kita sederhanakan apa itu kawasan konservasi.

UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem membagi dua kawasan konservasi sebagai;

Kawasan Suaka Alam (KSA) yang meliputi:

  • Cagar Alam
  • Suaka Margasatwa

Kawasan Pelestarian Alam (KPA) yang meliputi:

  • Taman Nasional
  • Taman Hutan Raya
  • Taman Wisata Alam

Undang-undang tersebut merumuskan bahwa KSA hanya ditujukan untuk ‘penelitian, ilmu pengetahuan, dan pendidikan,’ sedangkan KPA hanya diperuntukan untuk ‘menunjang budidaya, budaya, pariwisata, dan rekreasi’.  Dalam hal ini, perlunya diserukan larangan terhadap kunjungan masyarakat luas yang bertujuan kemping, kegiatan off road, pariwisata, dan lain sebagainya di luar penelitian, ilmu pengetahuan, dan pendidikan ke wilayah KSA, yakni Cagar Alam dan Suaka Margasatwa.

Jika itu dibiarkan, salah satu contoh dampak dari kedatangan manusia ke KSA dapat mengganggu mangsa macan yang dilestarikan di sana. Dengan begitu si macan kekurangan makanan dan turun ke pemukiman, kemudian jadi ancaman bagi masyarakat. Pilihannya; dibunuh karena meresahkan atau mati kelaparan karena mangsanya habis terusir kegiatan yang tidak diperlukan di sana.

Sedang pada bidang edukasi, pendidikan dasar survival di Cagar Alam dan Suaka Margasatwa juga sangat merugikan habitat di sana. Manusia berebut mangsa dengan hewan-hewan yang berada di sana untuk kebutuhan pendidikan survival. Bukankah itu lucu? Dalam kasus lain, Owa Jawa yang enggan reproduksi jika terkena bising manusia, akan segera menghadapi kepunahan selama intervensi besar-besaran manusia terhadap mereka dibiarkan begitu saja, belum lagi dampak geologi dan lain sebagainya.

Lebih sederhana lagi, Cagar Alam merupakan kota bagi mereka. Seperti kota Bandung bagi manusia. Kita; manusia, hanya akan jadi “binatang buas” bagi flora-fauna di Cagar Alam. Kita hanya akan jadi hama yang mengganggu ladang makan mereka. Kita, hanya jadi pengganggu dan peresah mereka dalam berkoloni di tengah rimba sana. Dan, kita, sepatutnya tahu batasan-batasan mana saja yang boleh kita kunjungi. Barangkali, konsep “hutan larangan” pada zaman kerajaan dulu, merupakan konsep konservasi pada zamannya. Dengan adagium “kesurupan, hilang, dan/atau penyakit” jika kita memasuki hutan larangan, menjadi sanksi atas hukum tersebut.

Namun kini zaman benar-benar berubah. Sanksi yang dikenakan ketika kita memasuki Cagar Alam merupakan denda ratus jutaan rupiah atau dijebloskan ke penjara. Sayangnya, perhatian penegak hukum atas larangan ini belum cukup serius. Buktinya, masih banyak orang dengan leluasa mengunjungi Cagar Alam dan mengunggahnya di akun media sosial mereka.

Takjarang, foto-foto keindahan danau Ciharus, hamparan rumput Tegal Panjang, Gunung Krakatau, dan masih banyak lagi—yang notabene sebagai kawasan Cagar Alam, dengan mudahnya dipertontonkan oleh para pegiat alam bebas di media sosial sebagai bukti bahwa mereka telah mengunjunginya. Lebih lucu lagi, kegiatan open trip yang sempat ramai digelar oleh akun-akun kepegiatalambebasan berlokasi di Cagar Alam. Dan mereka memiliki SIMAKSI (Surat Izin Memasuki Kawasan Konservasi) dari BBKSDA setempat. Bukankah open trip tidak mengandung penelitian? Bukankah mereka hanya bertujuan kemping ‘haha-hihi’ saja? Mengapa BBKSDA sampai bisa menurunkan surat izin tersebut? Bukankah itu mengerikan?

Bandung, 4 April 2019
Jalu Kancana

*Esai ini pernah diterbitkan di Bicara Jabar.

Tinggalkan komentar

Atas ↑