Gangguan Ekologis Demi Ekonomi dan Fenomena Covid-19

20 tahun lalu—tepatnya pada tanggal 18 September 2000—sebuah jurnal ilmiah dari Universitas John Hopkins jurusan Hygiene and Public Health (Kebersihan dan Kesehatan Masyarakat), atas nama; Jonathan A. Patz, Thaddeus K. Graczyk, Nina Geller, dan Amy Y. Vittor, diterima oleh perusahaan bernama Elsevier, yang fokus pada penerbitan dan analitik konten ilmiah, teknis, serta medis.

Jurnal yang diterbitkan dengan judul; Effects of environmental change on emerging parisitc disease (Pengaruh perubahan lingkungan pada penyakit parasit), menjelaskan bahwa gangguan ekologis dapat memengaruhi munculnya penyakit-penyakit menular, dalam hal ini; antroponisis dan zoonosis.

Berhubung jurnal tersebut banyak menggunakan istilah-istilah yang cukup rumit, mari kita sederhanakan saja.

Apa itu Gangguan Ekologis?

Menurut KBBI, ekologi artinya ‘ilmu tentang hubungan timbal balik antara makhluk hidup dan (kondisi) alam sekitarnya (lingkungannya)’. Itu artinya, gangguan ekologis erat hubungannya dengan kerusakan-kerusakan lingkungan, seperti berkurangnya hutan (deforestasi) akibat penebangan pohon yang tak terkendali, terganggunya Cagar Alam dan Suaka Margasatwa oleh kehadiran manusia yang hendak berwisata di sana, pergantian lahan hutan yang dijadikan pemukiman, pengembangan komersial, pembangunan jalan, dan lain sebagainya.

Baik legal maupun ilegal, gangguan ekologis akan selalu terjadi. Contohnya adalah perubahan lahan yang sekarang ini menjadi pemukiman rumah kita. Itu merupakan perubahan lahan yang legal, karena sesuai dengan hukum yang dilindungi negara.

Sedangkan jika kita memasuki Cagar Alam dan Suaka Margasatwa (baik untuk berwisata seperti kemping atau kegiatan outbond atau pendidikan), itu merupakan tindakan di luar hukum (ilegal), karena kita telah melanggar UU No. 5 Tahun 1990.

Sayangnya, gangguan ekologis dalam hal perlindungan Cagar Alam dan Suaka Margasatwa ini cenderung dibiarkan oleh instansi pemerintah yang bertugas melindunginya, yakni BBKSDA (Balai Besar Konservasi dan Sumber Daya Alam). Buktinya, pendakian ke Gunung Guntur, Garut di Cagar Alam Kamojang Timur masih saja dibiarkan, begitu pula pertambangan pasir yang sudah lama beroperasi di sana.

Terjadinya gangguan ekologis nyatanya tidak dipengaruhi oleh tindakan yang legal ataupun ilegal, sehingga untuk meminimalisir terjadinya gangguan ekologis, kita memang harus menyeimbangkan antara kebutuhan ekonomis dengan kebutuhan ekologis, seperti yang pernah dilakukan oleh seorang ekonom terkemuka Indonesia mantan menteri lingkungan hidup; Emil Salim, terkait ‘pembangunan yang tidak merusak’.

Apa itu Antroponisis dan Zoonosis?

Antroponisis adalah penyakit menular dari manusia ke manusia lain secara langsung, salah satunya adalah HIV/AIDS. Akan tetapi, ada beberapa penyakit menular yang tidak langsung dan membutuhkan vektor (hewan yang menjadi perantara menularnya penyakit), seperti demam berdarah dan malaria.

Sedangkan penyakit yang ditularkan dari hewan ke manusia, disebut sebagai Zoonosis. Selengkapnya, Zoonosis adalah penyakit pada hewan yang dapat ditularkan kepada manusia secara langsung atau melalui serangga. Zoonosis juga memiliki penyebaran yang membutuhkan perantara, sehingga penyakit zoonosis ini juga menular pada sesama binatang.

Perlu diketahui juga; sebuah penelitian pada tahun 2005 yang dilakukan oleh Woolhouse M.E.J. dan Gowtage-Sequeria S. dari Universitas Edinburgh, Inggris, menunjukan bahwa spesies parasit yang mampu menimbulkan penyakit pada inangnya (dalam hal ini manusia), 58% di antaranya merupakan zoonosis.

Hubungan Gangguan Ekologis terhadap Penyakit Zoonosis

Kembali ke jurnal ilmiah dari Universitas John Hopkins di atas, mereka menulis penutup abstraksinya sebagai berikut; “the combined effects of environmentally detrimental changes ini local landuse and alterations in global climate disrupt the natural ecosystem and can increase the risk of parasitic disease to the human population.” (efek gabungan dari perubahan yang merusak lingkungan pada penggunaan lahan lokal dan perubahan iklim global, mengganggu ekosistem alami dan dapat meningkatkan risiko penularan penyakit parasit pada populasi manusia).

Intinya, penyakit menular kelak akan meningkat akibat perubahan lingkungan, dan itu tidak terelakan lagi. Sedangkan data penelitian yang diterbitkan oleh EcoHealth Alliance tahun lalu (2019), tentang dampak munculnya penyakit menular yang berasal dari hewan (zoonosis) sejak tahun 1940, menunjukan bahwa tiga jumlah terbesar diakibatkan oleh ‘Perubahaan penggunaan lahan’ (31%), ‘Perubahan lahan untuk pertanian’ (15%), serta ‘Perjalanan dan perdagangan internasional’ (13%).

Tiga hal tersebut tentunya memiliki dampak ekonomi yang teramat penting bagi sebuah negara. Akan tetapi, tidak terkendalinya perkembangan ekonomi justru menimbulkan penyakit menular, salah satunya covid-19 yang belakangan santer meneror seluruh negeri di dunia.

Covid-19 dan Kuliner Ekstrem Berlandaskan Kebutuhan Ekonomi

Hampir semua media memberitakan bahwa dugaan awal mula kasus covid-19 ini berasal dari kuliner ekstrem di Wuhan, Cina. Daging kelelawar yang dijual di pasar Huanan—yang tentunya diperbolehkan oleh pemerintah di sana (legal)—menjadi alasan pandemi yang tengah terjadi. Benarkah demikian?

Centers for Disease Control and Prevention (CDC) dari Amerika pernah melakukan penelitian terkait hubungan Coronavirus dengan kelelawar. Pada tahun 2008, mereka pernah meneliti lima puluh dua kelelawar di Filipina. Hasilnya menunjukan bahwa sebesar 55,8% kelelawar lazim menjadi inang atas virus corona. Tak hanya itu, mereka juga mengutip hasil penelitian yang menunjukan bahwa; kasus pertama Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS)—atau infeksi saluran pernapasan—pada manusia yang disebabkan oleh virus corona, ada hubungannya dengan kuliner musang kelapa Himalaya dan anjing rakun di pasar hewan liar di Cina selatan. Kasus tersebut pertama kali terjadi pada tahun 2002 di Guangdong, Cina, yang kemudian menyebar dengan cepat ke negara lain.

Dapat kita cermati, bahwa fenomena-fenomena pandemi tersebut bermula dari gangguan ekologis. Lebih tepatnya, bagaimana perlakuan manusia terhadap hewan liar berlandaskan kebutuhan ekonomi. Tidak menutup kemungkinan pasar-pasar hewan liar yang berada di Indonesia pun kelak bernasib sama: menjadi pintu masuk penyebaran pandemi baru, melalui daging kucing, anjing, dan lain sebagainya.

Oleh karena itu, barangkali kita semua sepatutnya meningkatkan kepedulian kita terhadap lingkungan hidup, guna meminimalisir gangguan ekologis yang memicu penyakit menular zoonosis lainnya—tidak hanya covid-19 saja. Salah satunya dengan cara mendalami secara sadar perihal perundang-undangan yang telah dibuat untuk melindungi lingkungan hidup Indonesia, yakni Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, mengingat lestarinya ruang hidup untuk hewan dan tumbuhan (tanpa intervensi manusia) menjadi salah satu faktor yang mampu menekan penyebaran penyakit menular lainnya.

Selain itu, mengendalikan laju ekonomi (dalam hal ini terkait pada perdagangan di pasar hewan liar, pembangunan jalan, perubahan lahan, dan sebagainya) menjadi hal yang sangat penting dan perlu kita perhatikan, supaya hal-hal tersebut tidak menjadi faktor yang menyebabkan gangguan ekologis, karena faktanya, yang tengah terjadi di tengah masyarakat ini kerap kali mengesampingkan faktor ekologi demi kebutuhan ekonomi.

Untuk itulah mengapa alam raya ini juga bagian dari kita, dan jargon ‘lestari’ nyatanya memiliki arti yang lebih dalam dari sekadar teriakan untuk mencintai alam ini.

Salam lestari!

Bandung, 17 April 2020
Jalu Kancana

*Esai ini pernah dimuat di Bicara Jabar.

Tinggalkan komentar

Atas ↑